Berhutang untuk Aqiqah


Seorang muslim dituntut untuk menghidupkan sunnah-sunah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hukum aqiqah sunnah muakkadah dan tidak wajib menurut pendapat yang kuat, dan hendaknya orang yang memiliki kemampuan melaksanakan sunnah aqiqah ini.

Adapun orang yang belum mampu saat itu maka jika dia memiliki sumber penghasilan yang dia berharap bisa membayar hutang dengannya di kemudian hari maka tidak mengapa dia berhutang

Imam Ahmad rahimahullahu berkata:

إذا لم يكن عنده ما يعق فاستقرض رجوت أن يخلف الله عليه إحياء سنة

“Kalau dia tidak memiliki harta untuk aqiqah kemudian berhutang maka aku berharap Allah menggantinya karena dia telah menghidupkan sunnah.” (Al-Mughny, Ibnu Qudamah 13/395)

Namun kalau tidak memiliki penghasilan tetap maka jangan dia berhutang karena nanti akan memudharati dia dan orang yang menghutanginya. (Lihat Kasysyaf Al-Qina’ ‘an Matnil Iqna’, Manshur bin Yunus Al-Bahuti 2/353)

Allah ta’ala berfirman:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ)(التغابن: من الآية16)

“Bertaqwalah kepada Allah sesuai dengan kemampuan kalian.”


Berkata Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu:

وأما الاستقراض من أجل العقيقة فينظر، إذا كان يرجو الوفاء كرجل موظف، لكنه صادف وقت العقيقة أنه ليس عنده دراهم، فاستقرض من شخص حتى يأتي الراتب، فهذا لا بأس به، وأما إذا كان ليس له مصدر يرجو الوفاء منه، فهذا لا ينبغي له أن يستقرض

“Dan adapun meminjam uang untuk keperluan aqiqah maka dilihat, kalau dia berharap bisa mengembalikan seperti seorang pegawai misalnya, akan tetapi ketika waktu aqiqah dia tidak memiliki uang, kemudian dia meminjam uang sampai datang gaji maka ini tidak mengapa, adapun orang yang tidak punya sumber penghasilan tetap yang dia berharap bisa membayar hutang dengannya maka tidak selayaknya dia berhutang.” (Liqa Al-Babil Maftuh, Al-Maktabah Asy-Syamilah)

Seseorang yang tidak memiliki harta gugur kewajiban haji atasnya, begitu pula gugur kewajiban berzakat atasnya maka ini (Aqiqah.pen) lebih utama (untuk gugur karena ketidak-mampuan seorang hamba.pen). Asy-Syarh Al-Mumti’, Ibnu Utsaimin 25/227.

Dengan demikian, apabila seseorang tidak memiliki kemampuan maka tidak usah memaksakan diri berhutang untuk menyelenggarakan aqiqah. Kecuali apabila orang tersebut bisa membayarnya dalam waktu dekat dan tidak memberatkannya, misalnya seseorang diberi rizki oleh Allah ta’ala seorang bayi mendekati pertengahan bulan, dan biasanya ia menerima gaji yang cukup besar pada akhir bulan, sehingga ia berhutang uang untuk Aqiqah dan dibayar saat ia menerima gaji. Maka hal seperti ini tidaklah mengapa.
Tag : Hukum
Back To Top